Jumat, 22 Oktober 2021

Waspadai Benda Berkilau di LinkedIn Bila Anda Bukan Sebagai Kreator Konten di LinkedIn

Oleh : Bambang Haryanto ||

Shiny object syndrome. SOS. Sindrom ⚡๐ŸŒŸ⚡ inilah yang diam-diam serius mengancam ๐Ÿ˜ˆ Anda di LinkedIn. Utamanya bila Anda tidak menjadi ๐Ÿ“๐Ÿ“๐Ÿ“ kreator konten di LinkedIn.

Waspadalah!

Singkatnya, SOS adalah ketika seseorang memusatkan semua perhatiannya pada sesuatu yang baru dan terkini. Biasanya, yang bersangkutan mengorbankan apa pun yang mereka miliki atau lakukan saat ini.

Ancaman SOS kiranya juga mudah meruyak di platform LinkedIn ini. Yang rawan menjadi korbannya adalah mereka-mereka, juga Anda yang tergolong sebagai lurker. Alias para pembaca pasif di media sosial.

Jumlahnya 97% dari populasi pengguna LinkedIn yang 750.000.000+ di dunia ๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ฑ๐Ÿ˜ฑ.

Mengapa mereka terancam menjadi korban? Karena mereka tidak memiliki fokus ketika terpapar banjir informasi yang tersaji di layar gawainya. 

Mereka mudah tergiur mencari objek-objek berkilauan yang datang silih berganti.

Scrolling. Scrolling. Scrolling. 

"Penyakit" dari Instagram yang menular di LinkedIn ini. Ibarat kita terjebak dalam pasir apung, quicksand. Semakin kita bergerak, semakin kita terhisap ke dalamnya.

Tapi, asal tahu saja, bergentayangan tanpa fokus yang Anda lakukan itu senyatanya adalah holy grail bagi insinyur-insinyur siluman di balik platform media-media sosial besar. 

Anda rawan ๐Ÿ‘Ž๐Ÿ‘Ž๐Ÿ‘Žsudah masuk dalam jebakan mereka.

"Problemnya bukan kita tidak memiliki akal sehat," kata Tristan Harris yang mantan technology ethicist Google, "tetapi ada ribuan otak di sebalik layar yang bekerjanya adalah menghancurkan regulasi diri Anda!"

Ucapan Tristan Harris itu dikutip Adam Alter dalam bukunya Irresistible : The Rise of Addictive Technology and The Business of Keeping Us Hooked (2017).

Di awal buku dikisahkan bagaimana seorang Steve Jobs mempromosikan produk iPadnya, tetapi anak-anaknya dilarang menggunakan gadget produk perusahaan ayahnya. 

Evan Williams, kreator Blogger, Twitter dan Medium, membeli ratusan buku untuk dua anak remajanya tetapi menolak membelikan iPad untuk mereka.

Adam Alter melontarkan pertanyaan pahit : "Dapatkah Anda bayangkan seseorang pemuka agama yang gencar mengkotbahkan ajaran-ajaran agamanya tetapi justru melarang anak-anaknya untuk mempraktikkan ajaran agama tersebut?"

Anda punya pendapat?
Kemudian apa solusinya?

Sebagai penulis buku dan blogger, inilah usul saya untuk Anda : jadilah kreator konten. Anda jangan hanya puas menjadi konsumen konten semata. Juga tampil anonim di platform profesional ini.

Dengan menjadi kreator, Anda lebih bisa memiliki fokus dalam memilih dan mengonsumsi banjir informasi yang mengalir di layar gadget Anda. 

Anda pula terkondisikan untuk fokus berinteraksi dengan mereka, para thought leader, di bidang profesi Anda. Kemudian jadikan diri Anda sebagai pemimpin pemikiran di industri Anda.

Untuk keberhasilan Anda sebagai kreator konten, sediakan alat ini : bloknot dan bolpoin. Atau aplikasi lainnya. Artis  pop kaliber dunia Taylor Swift juga melakukan ritus yang sama untuk menunjang proses kreatif penciptaan lagu-lagu hitnya. 

"Keep a notebook and pen handy, however, to capture any brainstorms that hit while you’re out and about,” tutur dara imut bertinggi badan 178 cm dan kelahiran 13 Desember 1989 ini.

Tampilkan diri Anda sebagai kreator konten, sehingga berpeluang besar Anda tampil sebagai salah satu objek yang berkilauan di platform LinkedIn ini.

Dengan berbagi. 
Untuk menginspirasi. 
Dengan aksi.

Apakah Anda bersedia bersama saya untuk mengampanyekan gerakan bangkit menjadi kreator konten di hari-hari mendatang ini? 

Ikuti terus konten saya. Mari sama-sama beraksi!

#freshgraduate
#koneksiitukunci
#kreatorkonten

Selasa, 21 September 2021

Agar Berhasil, Apa Pemburu Pekerjaan Harus Lebih Relijius? Do Your Best and Let God Do the Rest!

Oleh : Bambang Haryanto ||

Ada dorongan kuat #freshgraduate saat terjun #berburupekerjaan agar berperilaku ☪️✝️☦️✡️ lebih relijius. Pamrihnya, agar lebih mudah berhasil mendapat pekerjaan๐Ÿ‘”idaman?

Kampanye atau nasehat semacam itu kuat berhembus di LinkedIn. Para #pemburupekerjaan disarankan lebih rajin dan menambahkan aktivitas beribadahnya. Berdoa lebih banyak. Meminta restu orang tua, juga kepada suami/istri. Aktif melakukan aktivitas berderma.

Nasehat yang mulia. 

Namun mengapa semua hal baik itu tidak sebaiknya dilakukan saja sejak dulu, jauh-jauh hari? 

Bukankah aksi beribadah itu ibarat kita menanam benih? Kita tekun dan rajin menumbuhkannya, dimana sejalan dengan waktu benih itu akan membesar. Jadi pohon ๐ŸŒฒ๐ŸŒฒ๐ŸŒฒ dan kemudian menghasilkan buah.

Rajin beribadah hanya pada saat menghadapi masa-masa kritis, berguna untuk memperkuat diri kita. 

Tetapi pada saat yang sama bila kita mengharapkan keajaiban, problem pengangguran kita segera terselesaikan, mungkin ibarat isi dongeng si Jack dengan turus kacangnya.

Dia melempar biji kacang dari jendela dan esoknya tumbuh tanaman kacang yang menjulang ke langit. Dia panjat, untuk ketemu putri cantik ๐Ÿ‘ธ dan raksasa ๐Ÿ‘น yang mengubernya. Putri cantik itu bisa dia selamatkan. Mereka lalu menjalani kehidupan ๐Ÿ’˜aman sentosa selama-lamanya.

Keajaiban seperti itu sulit atau jarang terjadi.

***
Strategi berburu pekerjaan secara garis besar ada 2 kategori. Pertama, cara lambat dan terkendali. Kedua, cara cepat tetapi tidak terkendali. 

Memeriksa lowongan di job board atau baca-baca iklan/info lowongan di LinkedIn, lalu merespon dengan mengirim CV, termasuk kategori cepat tetapi tidak terkendali.

Karena begitu tombol▶️"send" atau ▶️"submit" Anda pencet, nasib lanjutan dari CV itu tak ada yang tahu. Ada aksi, tetapi reaksinya entah kapan muncul atau terjadi. 

Di ruang kosong itulah kita lalu meraba-raba. Harap-harap cemas  Mencari-cari pegangan. Merindukan jawaban. Dalam kondisi kehampaan seperti itulah, kepada siapa lagi, kalau kita tidak tergiur untuk segera bersandar kepada Tuhan?

Apa tidak terlalu cepat? 

Budayawan Remy Silado pernah membuat ucapan sarkastik. Dia bilang, bahwa di ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ Indonesia itu banyak urusan setingkat RT saja sampai perlu melibatkan Tuhan. 

Ucapannya itu mungkin sebagai pengingat agar kita tidak buru-buru meminta mukjizat ⚡dari Yang Maha Kuasa sebelum kita benar-benar berusaha.

Bukankah ada ucapan terkenal, "Do your best and let God do the rest" ?

Perwujudan kredo "do your best" itu dalam berburu pekerjaan, menurut hemat saya, tidak lain adalah strategi kategori pertama. Yakni cara lambat namun bisa dikendalikan oleh kita sendiri.

Alat ๐Ÿ’ปdan cara untuk itu pun sebenarnya sudah tersedia bagi kita semua. Tidak lain adalah platform LinkedIn ini pula. 

Disinilah Anda dan kita semua dapat membangun jejaring, networking, berkoneksi, dengan siapa saja di antara 750 juta + warga LinkedIn di seluruh dunia. Termasuk 19 juta warga Indonesia.

Sudahkah aksi "do your best" benar-benar sudah Anda lakukan? Polling ini ingin mengetahui aksi pilihan Anda selama ini. Terima kasih untuk partisipasi Anda.

#freshgraduate
#koneksi
#koneksiitukunci
#linkarier
#linkedin

Ada cara terkendali dan cara tidak terkendali dalam berburu pekerjaan. Cara pilihan saya [diluar 4 cara tersebut tulis di komentar] adalah : 

Baca2 lowongan,kirim lamaran
Baca2 job board,kirim lamaran
Berkoneksi di LinkedIn
Berkoneksi offline/luring 

Penyakit Kronis Kita di LinkedIn : Waspadai, Karena Kita Sering Menyukainya !

 Oleh : Bambang Haryanto ||

 

Tahukah Anda penyakit kronis yang berpotensi menulari Anda begitu Anda punya akun media sosial? 

Berhati-hatilah!

Tapi jangan  cemas dulu. Kebanyakan penderita serius penyakit kronis itu, disebut egosentrik, adalah perusahaan.

Terkait hal itu seorang konsultan digital dari Inggris, Christopher Robin, pernah memajang kritikan berjudul "Why your content sucks." Isinya bisa bikin merah telinga.

Dia contohkan betapa dalam situs web kebanyakan perusahaan terbaca, "kita melakukan hal ini dan hal itu. Kita memperoleh sertifikat ๐Ÿ“œ bla bla bla dan juga telah memenangkan award bla bla bla."

Ringkasnya : setiap isi postingan di situs web, cerita di blog dan media sosial, adalah cerita melulu berfokus tentang ๐Ÿป perusahaan Anda sendiri.

Kata Christopher Robin, "semua bla bla bla Anda itu hanya akan dicuekin pelanggan Anda. Karena yang mereka hiraukan adalah apa yang Anda  lakukan untuk mereka."

Begitulah. Egosentrik adalah bawaan kita sebagai manusia dari sononya. "Orang terutama tertarik pada diri mereka sendiri, bukan pada Anda. Dengan kata lain,orang itu 10.000 kali lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada pada Anda."

Kalimat maknyuzz itu saya kutip dari Les Giblin dalam bukunya Skill With People (2001).

Bukti kebenarannya, silakan selisik saja di postingan yang lalu lalang di lini masa LinkedIn Anda saat ini.

Tak ayal para influencer media sosial sudah lama ๐Ÿ“ข teriak-teriak mengingatkan kecenderungan egosentrik yang masif mudah membelit kebanyakan dari kita itu.

Seorang Guy Kawasaki bikin rumus porsi postingan yang keren : 90% isinya yang bermanfaat bagi audien. Sedang sisanya 10%, bisalah  untuk mempromosikan diri sendiri.

Sementara Gary Vee lebih bermurah hati. Perbandingannya, 51% untuk pembaca dan yang 49% silakan  untuk berfoya-foya berpromoria tentang diri kita.

Pakar iklan bilang, di awal postingan terlarang  bila kita memakai kata "saya." Karena audien akan segera berteriak, "mana untungnya bagi saya?"

Kebetulan hari ini hari Jumat. Kiranya cocoklah imbauan agar postingan Anda itu bisa meniru struktur seperti surat Al Fatihah. Bacaan awal semuanya tentang Gusti Allah. Pujian bagiNya.

Baru kemudian pamrih kita boleh dimunculkan dengan permintaan di bagian belakang : "Tunjukkan kami jalan yang benar..."  dan seterusnya.

Polling kita kali ini ingin mengulik penilaian Anda terhadap porsi orientasi postingan-postingan warga jejaring LinkedIn Anda.

Terima kasih untuk peranserta Anda. Hasil polling silakan klik disini.


#content  #contentcreator #linkedinpost

Minggu, 19 September 2021

Blunder Dalam Karier : 8 Kerugian Besar Bagi Karier Anda Bila Anda Drop Out Dari LinkedIn Setelah Dapat Pekerjaan!

Oleh : Bambang Haryanto ||

 

Rugi besar bila LinkedIn Anda perlakukan ibarat terminal angkot. Terutama oleh Anda sebagai #freshgraduate dan #pemburupekerjaan lainnya.

Saat butuh dan berpamrih sesuatu, mereka datang. Sesudah menemukan atau pun tidak menemukan angkot yang mereka butuhkan, mereka pun pergi. Mungkin akan kembali ketika butuh sesuatu lagi?

Mereka yang drop out dari LinkedIn sesudah memperoleh sesuatu, terutama pekerjaan, menurut hemat saya, sebenarnya adalah fihak yang paling merugi.

Pertama, keberhasilan dirinya itu tidak menebarkan berkah kepada warga jaringannya. Praktik pay it forward yang luhur, tidak dia tunaikan.

Yang biasanya dikerjakan adalah hanya berbagi kabar bahwa dirinya sudah melepas sabuk hijau "opentowork"-nya. Menikmati ucapan selamat bagi dirinya.

Lalu lenyap .

Kedua, tidak disadari bahwa dirinya terputus dengan jejaring profesional yang dia bangun selama ini. Padahal di era digital dan interkoneksi ini ada rumus yang bilang, "your network is your net worth."

Ketiga, dengan drop out dari LinkedIn sebenarnya menjerumuskan dirinya sebagai pribadi yang tidak berpotensi menambah manfaat ekstra bagi perusahaannya kini. Perusahaannya jadi ikut tidak bunyi karenanya.

Kita tahu, kini adalah era media sosial. Bila Anda dan perusahaan Anda tidak tampil di media sosial, utamanya LinkedIn, berarti berstatus tidak eksis di dunia profesional ini.

Anda memang nyaman berstatus sebagai #lurker. Tetapi Anda tergolong sebagai salah satu dari 17.100.000 warga Indonesia yang tercatat di LinkedIn tetapi tidak ada kontribusi nyatanya sama sekali.

Keempat, kerugian berikutnya, Anda kehilangan panggung atau peluang besar untuk bisa memromosikan secara soft selling perusahaan Anda. Baik nama,reputasi, produk atau jasanya.

Kelima, Anda tidak ikut pula dalam membangun employer branding sehingga perusahaan Anda mampu menarik mitra bisnis sampai kandidat unggulan untuk bergabung.

Keenam, Anda pun terancam tenggelam hanya berstatus sebagai karyawan atau buruh biasa. 

Karena Anda tidak bunyi di platform profesional untuk terpanggil menyumbangkan wawasan, expertise sd pengalaman bagi industri atau pun profesi Anda. Anda tidak menjadi mentor atau panutan bagi para yunior Anda.

Ketujuh, Anda kehilangan wahana hebat guna membangun personal brand diri Anda sendiri pula.

Kedelapan, bagi #pemburupekerjaan yang DO dari LinkedIn berarti memutus jalur #koneksi profesional terbaik saat ini. Anda kembali memakai cara-cara berjudi pakai CV dalam #melamarpekerjaan.

Mengapa Anda drop out dari LinkedIn menjadi topik polling kita hari ini. Terima kasih untuk peranserta Anda.

#freshgraduate
#koneksiitukunci
#linkedinituberkoneksi

Hasil polling dapat Anda baca di link berikut. Terima kasih.


Rabu, 15 September 2021

Polling di Linkedin : Apakah Sebagai Sarana Terbaik Untuk Meningkatkan Organic Reach Postingan Anda ?

Oleh : Bambang Haryanto ||

Awas! Bahaya mengintai PIN akun bank Anda. Ada 2 cara pembobol bertaktik social engineering seturut  paradox of choice-nya Barry Schwartz yang terkenal.

Saya hampir jadi korban mereka.

Sebagai pelanggan pascabayar, selama ini saya tidak hirau akan bonus poin yang diberikan oleh provider. Celah ini, entah mereka tahunya dari mana, dipakai untuk senjata merayu saya.

"Merujuk akumulasi poin, Anda berhak  hadiah. Silakan pilih : 1. Bebas langganan paket 3 bulan, atau, 2. Uang sebesar 1.750.000 rupiah," kata dia.

Jab yang dahsyat.

Ada orang baru kenal kok tiba-tiba memberi Anda rejeki ๐Ÿ’ฐ๐Ÿ’ฐ๐Ÿ’ฐ besar. Kalau tidak mampu berpikir jernih, otak kita segera konslet karenanya. Terbius.

Info hadiah itu terjadi setelah penelpon mengenalkan namanya. Di layar saat pertama kali kontak muncul nama provider. Bikin saya percaya, "ini kontak dari lembaga resmi."

Saya pilih opsi 1. Saya sudah masuk perangkapnya. Dia meminta saya menyebutkan kembali 4 abjad yang dia kirim via SMS dalam 4 sesi. Saya dikondisikan agar patuh perintahnya.

Apa urusan lalu jadi selesai?

Pilihan kedua, kini dia tawarkan. Saya merasa aneh. Tadi di awal sebagai pilihan, kini diberikan cuma-cuma. Apalagi dia kemudian minta nomor rekening ๐Ÿฆ saya. Katanya, untuk transfer hadiah.

Alarm ๐Ÿšจ tanda bahaya ๐Ÿ’ฃ๐Ÿ’ฃ๐Ÿ’ฃ nguing-nguing di kepala saya.

Saya bilang, "saya tidak punya akun bank. Saya bayar langganan lewat kantorpos."

Dia malah bilang, "kan bapak punya x akun?"

Bunyi alarm ๐Ÿšจ๐Ÿšจ๐Ÿšจ makin mengeras. Dia tahunya dari mana ya?

Ini perangkap kedua. Bila saya  memberitahu akun bank ๐Ÿฆ saya, dia akan pakai lagi cara pertama.

Saya diminta lagi untuk memvalidasi nomor-nomor tertentu dimana saya tidak terasa akan disugesti untuk menyertakan nomor PIN saya di dalamnya.

Misi dia gagal. 

***
Guru paradox of choice Barry Schwartz mengatakan bahwa salah satu cara terampuh mempersuasi orang lain adalah dengan memberikan mereka pilihan saat ambil keputusan. 

Kalau hanya satu pilihan, orang tak suka. Merasa dipaksa. Kalau banyak pilihan, juga tidak suka. Ribet.

Angka idealnya dua. Ketika diberi kebebasan memilih dari dua opsi yang ada, orang merasa jadi aktor utama ๐Ÿ’ช dari keputusannya ๐Ÿ”จtersebut.

Terima kasih, Pak Schwartz. Insight Anda itu mungkin bisa jadi penjelas atas fenomena polling di LinkedIn akhir-akhir ini.

Saya jadi saksi : postingan biasa menggaet views < 2.000. Postingan yang diolah dalam bentuk polling, viewsnya melonjak sampai > 20.000. Mengapa?

Mungkin di postingan biasa responden merasa hanya jadi ๐Ÿ‘Žobjek. Sementara di postingan yang memakai polling dirinya merasa jadi๐Ÿ‘ subjek.

Itukah penyebab mereka lebih suka ikut polling di LinkedIn? Kita tanya dulu ke sahabat jejaring kita di LinkedIn. Lewat polling ๐Ÿ˜ pula.

 

#career
#freshgraduate
#koneksiitukunci
#linkedin
#linkedinituberkoneksi

 

Sabtu, 21 Agustus 2021

LinkedIn Itu Ibarat Agama : Apakah Akan Mengantarkan Anda Ke Surga Atau Ke Neraka ?

 Oleh : Bambang Haryanto ||

Khotbah untuk Anda para #freshgraduate. Bahwa mengelola LinkedIn itu ibarat memeluk agama. Ada ritusnya, ada dosa, ada pula pahalanya.

Yang pasti, semakin kita merasuk, kita akan memergoki semakin banyak peraturan. Seringkali peraturan yang tidak mudah kita pahami. 

Ada yang bilang, "begini-begini" saja LinkedIn saya, sudah merasa cukup. Sementara Anda yang berniat mengelola akun LinkedInnya secara lebih profesional, banyak panduan yang menantang untuk dijelajahi. 

Tentu saja terkait topik utama aktivitas di LinkedIn : menciptakan konten. Atau tulisan. 

Teman saya penulis buku biografi, Ratih Poeradisastra, pernah berbagi ucapannya Winston Churchill.

Katanya, "Tulisan itu seperti rok perempuan. Harus cukup panjang untuk mencakup pembahasannya dan harus cukup pendek agar menarik."

Kita tahu, untuk tulisan panjang, LinkedIn menyediakan 3.000 karakter untuk postingan. Tetapi bagi tulisan yang "harus cukup pendek agar menarik," tahukah Anda tentang angka magic 141  dan 191 karakter di LinkedIn?

Itulah jumlah karakter untuk judul dan lead/pembuka dari setiap postingan kita. Di HP, tersedia 141 karakter. Di komputer, jatahnya 191 karakter.

Ketahuilah, nasib postingan Anda tergantung kepada kreativitas Anda dalam menulis judul dan pembuka tersebut. Apa cukup menggelitik, juga mampu merangsang rasa ingin tahu pembaca? Atau sebaliknya?

Kalau magnet dari judul dan pembuka Anda itu mampu merangsang pembaca mengklik tulisan "see more" atau "lihat lainnya," Anda lolos dari lubang jarum. Berarti Anda lolos dari ujian algoritmanya LinkedIn.

Apabila tidak ada pembaca yang mengklik petunjuk "see more" atau "lihat lainnya" itu maka algoritma LinkedIn memperoleh sinyal bahwa tulisan itu tidak menarik. 

Tulisan yang tidak mampu memicu reaksi, loyo membangkitkan percakapan, akan terancam disembunyikan oleh algoritmanya.

Jadi tulisan sehebat, semutu atau berbobot pun,terancam jadi tulisan sia-sia bila pembacanya sedikit atau tidak terbaca sama sekali. 

Jadi, patuhilah aturan "agama"-nya LinkedIn untuk keberhasilan Anda.

Akhirnya, semuanya, memang terpulang kepada tujuan kita masing-masing dalam mengelola platform media sosial satu ini.

Setelah saya iming-imingi rumus 141/191 di atas, dalam polling ini saya ingin mengetahui langkah Anda dalam mengelola akun LinkedIn ke depannya. 
 
Hasil polling dapat Anda klik disini. Terima kasih.

 
#koneksiitukunci
#linkedin
#linkedinituberkoneksi




Rabu, 18 Agustus 2021

Mengintip Tren Pekerjaan Masa Depan : Anda Sebaiknya Berkarier Lebih Dari Satu!

 Oleh : Bambang Haryanto ||

Tantangan dahsyat bagi Anda sebagai #freshgraduate di era VUCA. Terjuni 2-3  karier sekaligus. Bila hanya 1 karier saja, terlalu berisiko untuk hidup Anda.

Kita kini hidup di dunia VUCA. Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguity. Jaman gonjang-ganjing. 

Kini ketidakpastian adalah satu-satunya kepastian. Sementara perubahan adalah satu-satunya yang konstan. Jadi, kita semua harus mengembangkan ketahanan dan terampil merangkul perubahan.

Termasuk merangkul perubahan yang terjadi di dunia pekerjaan. Pandemi Covid-19 menyodokkan realitas bahwa setinggi jabatan apa pun rentan tertebas pedang PHK. Bahkan pekerjaan tersebut kemungkinan besar tidak pernah kembali bila pun berakhir pandemi.

Perubahan ini akan mengubah atau mendefinisikan kembali pemahaman kita tentang pekerjaan, di mana kita memilih untuk bekerja, atau apa yang kita pilih untuk dilakukan. 

Di manca negara akhir-akhir ini heboh tentang "the great resignation." Tentang berbondong-bondongnya pekerja keluar dari pekerjaan semula dan merintis karier baru mereka. 

Mereka merasa lebih aman dalam bekerja dengan menciptakan pekerjaan bagi diri mereka sendiri daripada menjadi karyawan yang ditentukan merah-hitam hidupnya oleh perusahaan.

Sementara itu wartawati Rachel Feintzeig di Wall Street Journal (13/8/2021) menulis bahwa WFH memunculkan fenomena tak terduga.

Ketika pandemi membebaskan karyawan dari keharusan melapor ke kantor, beberapa mereka melihat peluang untuk menggandakan gaji mereka secara diam-diam. 

Sekelompok kecil pekerja kerah putih yang berdedikasi, di industri teknologi hingga perbankan hingga asuransi, mengatakan mereka telah menemukan cara untuk menggandakan gaji mereka: Bekerja DUA pekerjaan jarak jauh penuh waktu !

Kenyataan-kenyataan di atas melempar kita kembali ke era pra-industri. Di mana sebagian besar orang adalah wiraswasta dan harus mencari cara untuk melakukan sesuatu yang berguna dengan keterampilan dan minat unik mereka.

Jadi, kita masing-masing — tua atau muda — harus menemukan jawaban atas pertanyaan, “Apa keahlian saya yang unik yang dibutuhkan dunia dan bersedia membayarnya?”

Kita pun perlu melihat pekerjaan bukan sebagai pekerjaan tetapi sebagai serangkaian proyek dan terkadang portofolio proyek. Beberapa di antaranya dibayar, dan yang lain mungkin pro bono.

Dengan pemahaman baru itu, moga cakrawala kita tentang dunia pekerjaan semakin kaya. Betapa kini bagi kita terbuka untuk menekuni lebih dari satu karier di dalam hidup kita. 

Dalam suatu self-assessment saya pernah menemukan kandidat yang unggul sebagai akuntan tetapi juga hebat di bidang artistik. Ada lagi sarjana hukum, hobi terkuatnya sebagai penyanyi. 

Polling ini ingin menguak aspirasi Anda terhadap pilihan karier Anda. Tengoklah diri Anda, lihatlah betapa istimewa Anda dengan beragam minat dan skill yang menunggu titik ledak untuk mampu Anda eksplorasi. Untuk sukses hidup Anda ke depannya.

 

Saya bayangkan bila di dunia ini tidak ada hambatan apa pun, maka saya ingin berkarier

Cukup 1 karier saja

Dua pilihan karier

Tiga pilihan karier

Empat pilihan karier

 

Hasil polling yang menarik bisa Anda klik disini.

 

Waspadai Benda Berkilau di LinkedIn Bila Anda Bukan Sebagai Kreator Konten di LinkedIn

Oleh : Bambang Haryanto || Shiny object syndrome . SOS. Sindrom ⚡๐ŸŒŸ⚡ inilah yang diam-diam serius mengancam ๐Ÿ˜ˆ Anda di LinkedIn. Utamanya bi...